Selasa, 06 Maret 2012

Sentra Perajin Sepatu Cibaduyut Hadapi Tantangan Regenerasi

BANDUNG, (PRLM).- Regenerasi keterampilan menjadi salah satu tantangan bagi sentra perajin sepatu Cibaduyut Kota Bandung. Persoalan ini harus dihadapi bersamaan dengan sulitnya bertahan di tengah persaingan produk di pasaran.
Setidaknya hal itu yang disampaikan Ayi Suryana (32), seorang pengelola industri rumahan pembuat sepatu di Gang Kopsi Blok Pasantren Cibaduyut, Kota Bandung. Meski usahanya masih berskala kecil, dia mengaku kerap bingung saat mendapat pesanan dalam jumlah banyak dan perlu menambah pekerja. “Sekarang mencari tenaga kerja memang lumayan susah, dulu di sini masih banyak perajin,” ujarnya, ditemui Selasa (6/3).
Usaha pembuatan sepatu yang ditekuninya memang masih belia. Sejak 4 tahun silam, dia mulai mengelola usaha turunan yang dirintis orang tuanya. Saat ini, dia mempekerjakan dua perajin dengan kemampuan produksi per hari sekitar 20 buah (1 kodi). Angka tenaga kerja akan ditambah jika pesanan meningkat.
Dia mengatakan, beberapa tahun silam, mencari pekerja tambahan bukan hal yang sulit. Sejumlah tetangganya memiliki keterampilan untuk membuat alas kaki. Namun saat ini, jumlahnya terus berkurang. Perajin yang memiliki keterampilan cenderung memilih untuk beralih profesi. Atau kalaupun masih bergelut di produksi alas kaki, perajin akan pindah ke industri berskala pabrik. Ditengarai, ini berkaitan dengan pendapatan lebih menjanjikan.
Saat bekerja di pabrik, pendapatan cenderung lebih terjamin dengan kebutuhan kemampuan cenderung ringan. Penggunaan teknologi membuat keterampilan utama yang dibutuhkan bukan kemampuan membuat sepatu, melainkan kemampuan menggunakan mesin. Sementara saat bekerja di industri rumah tangga, bisa jadi pendapatan yang diterima perajin tidak menentu.
Sementara itu, berdasarkan data Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Balai Pengembangan Perindustrian (BPP) Instalasi Pengembangan Industri Kecil Menengah Persepatuan Kota Bandung, jumlah unit usaha perajin sepatu sejak 2007 tidak bertambah. Bahkan jumlahnya menurun dari 2004 dan 2005 yang awalnya 848 unit usaha menyusut menjadi 828 pada 2006 dan 2007. Unit usaha tersebut secara umum terdiri dari toko penjual serta perajin yang memproduksi alas kaki.
Mengenai keterampilan, Kepala UPTD BPP IPIKM, Darmawan menuturkan, regenerasi bukan persoalan yang terlampau mengkhawatirkan. Kendati sulit menghitung angka pasti, dia memperkirakan, sebagian besar perajin saat ini berada di rentang usia 30 hingga 40 tahun. Sisanya merupakan perajin dengan usia di bawah 30 tahun, serta di atas 40 tahun.
“Justru yang menjadi persoalan saat ini bukan tenaga kerja, tapi peningkatan kapasitas produksi,” ujarnya.
Selain dari sisi produksi, tantangan juga datang dari sisi pemasaran. Saat ini, produk alas kaki yang dipajang di ratusan gerai sepanjang jalan Cibaduyut Raya tidak hanya buatan sentra lokal, tapi juga produk luar, baik dari sentra industri alas kaki lain di Indonesia, maupun produk serupa impor dari Cina.
Harga yang kalah bersaing menjadi salah satu penentunya. Padahal dari sisi kualitas, produk Cibaduyut cenderung lebih unggul. "China bisa membuat sepatu yang harga Rp 400 ribu menjadi hanya Rp 35 ribu. Namun produk itu tidak memperhatikan kenyamanan para konsumennya, dan juga sepatu dari China menggunakan bahan yang tidak menyerap keringat kaki, sehingga tidak nyaman bagi pemakainya," ujar Toni, ditemui beberapa waktu lalu.
Hal senada dikatakan Asep (26), pengelola usaha pembuatan sepatu yang terpaksa tutup lapak beberapa tahun lalu. Akibat adanya selisih harga, konsumen awam cenderung memilih produk luar yang lebih murah. Padahal jika menilik kualitas, produk Cibaduyut masih bisa diandalkan. (A-179/A-108)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar