Rabu, 07 Maret 2012

Bono, "Surfing" di Sungai Kelas Dunia
Ni Luh Made Pertiwi F | I Made Asdhiana | Jumat, 17 Februari 2012 | 19:35 WIB
Dibaca: 4444
|
Share:
TRIBUN LAMPUNG/MARZULI ARIWIBOWO Seorang peselancar asing beraksi menaklukkan keganasan ombak di pantai Karang Nimbor, Kelurahan Tanjung Setia, Kecamatan Pesisir Selatan, Kabupaten Lampung Barat, Minggu (24/4/2010). Keganasan ombak dan keasrian alam Tanjung Setia menjadi surga bagi banyak peselancar mancanegara.
JAKARTA, KOMPAS.com – Olahraga surfing atau selancar biasa dilakukan di laut. Namun, Sungai Kampar di Riau terkenal di dunia oleh para surfer atau peselancar sebagai tempat selancar.
Kapal khusus dan jetski khusus sudah ada, tapi masih sangat terbatas. Jadi untuk kedatangan turis banyak-banyak masih susah.
-- Achyaruddin
Penduduk lokal menyebut ombak besar di Sungai Kampar sebagai Bono. Peselancar dunia pun ikut menyebutnya dengan ”Bono”.
”Bono sudah mulai dikenal. Dan, sudah dijadwalkan oleh asosiasi surfer dunia, kapan puncak gelombang Bono. Ini salah satu produk destinasi yang luar biasa,” ungkap Sekretaris Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata Kementerian Pariwisata dan Ekonomi, Kreatif Achyaruddin baru baru ini di Jakarta.
Ia menyebutkan berdasarkan riset dunia, Bono dianggap sebagai surfing di sungai terbaik di dunia. Hal ini berdasarkan besarnya ombak dan lamanya ombak tersebut bertahan.
Hanya saja, ia mengakui untuk akses dan fasilitas masih terbatas. Tempat itu sendiri, lanjutnya, awalnya dipromosikan oleh peselancar asing yang mencoba selancar Bono.
”Kapal khusus dan jetski khusus sudah ada, tapi masih sangat terbatas. Jadi untuk kedatangan turis banyak-banyak masih susah. Surfer Indonesia juga sudah mulai banyak datang dan mencoba surfing Bono,” jelasnya.
Sebelumnya, Achyaruddin menjelaskan di Sungai Kampar, bisa terjadi 21 buah gelombang secara bersamaan. Sehingga jika puncak Bono, 21 surfer bisa berselancar bersamaan.
Puncak Bono atau gelombang di saat paling tinggi, dapat diprediksi sesuai bulan purnama atau berdasarkan kalender tarikh qomariyah.
”Jadi bukan pakai kalender Masehi. Nanti bisa diketahui kapan Bono besar, Bono kecil, mati atau tidak ada gelombang, dan Bono paling besar yaitu saat bulan penuh,” ungkapnya.
Saat puncak Bono, lanjutnya, ketinggian gelombang dapat mencapai tiga meter. Walaupun saat Bono kecil, peselancar masih bisa saja berselancar.
”Seperti Kuta saja, saat ombak kecil masih bisa, tapi untuk pemula,” katanya.
Achyaruddin mengungkapkan sebenarnya sudah mengetahui keberadaan Bono sejak lama. Hanya saja, ia tak menyangka bahwa bisa melakukan surfing di sungai. Selama ini, lanjutnya, ia pikir surfing hanya di laut.
Surfer asing melakukan riset dan menginformasikan ke masyarakat dunia. Ini jadi membuka wawasan kita untuk bangun pariwisata,” ungkapnya.
Kemanparekraf bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat dan para peselancar Indonesia terus mengembangakan daerah tersebut agar semakin layak menjadi destinasi wisata, terutama untuk selancar.
”Saya optimis kalau dikerjakan secara terpadu, 500 ribu sampai 1 juta wisatawan mancanegara bukan persoalan sulit karena ini bisa dijadikan ikon pariwisata Riau,” tuturnya.
Ia menambahkan walaupun belum ada hotel dan restoran, peselancar mancanegara terus saja berdatangan. Apalagi, lanjutnya, beberapa peselancar di luar negeri seperti dari Perancis sudah ada yang menjual paket surfing Bono.
”Dulu masyarakat adat menganggapnya sebagai suatu yang menakutkan. Bagi kita itu potensi wisata,” katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar